tag:blogger.com,1999:blog-88203717748136259262024-02-19T22:24:16.833+07:00Noor H. Deejust another story...Unknownnoreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-8820371774813625926.post-22817628369852247452010-09-02T11:40:00.002+07:002010-09-02T11:47:45.881+07:00BerandaSelamat datang, Saudara...<br />
<br />
Kehadiran saudara di situs sederhana ini adalah suatu kehormatan besar bagi saya. Silakan saudara baca karya-karya saya yang terangkum di sini. Saudara bisa membaca <i><a href="http://noorhdee.blogspot.com/p/jajal.html">short story</a></i> atau pun <i><a href="http://noorhdee.blogspot.com/p/short-short-story.html">short-short story</a></i>. Terserah saudara mau membaca yang mana terlebih dahulu. Membaca semuanya pun tidak masalah jika saudara memang sanggup. Siapa tahu saja cerita-cerita saya bisa menghibur hati saudara yang mungkin saja sedang terluka atau sedang kesepian atau mungkin sedang iseng sahaja. Siapa tahu.<br />
<br />
Oh iya, ada yang perlu saya jelaskan sedikit. Mungkin saudara bingung dengan istilah <i>short story</i> dan <i>short-short story</i>. Apa itu? Tentu saudara bertanya demikian. Begini, dengarkan baik-baik. <i>Short story</i> artinya cerita pendek, dan <i>short-short story</i> artinya cerita pendek yang lebih pendek dari cerita pendek pada umumnya. Mudah-mudahan saudara mengerti maksud saya. <br />
<br />
Saya juga menyertakan biodata singkat tentang diri saya di halaman <a href="http://noorhdee.blogspot.com/p/tentang-noor-h-dee.html">Tentang Noor H. Dee</a>. Siapa tahu saja saudara penasaran dengan saya dan kemudian ingin mengetahui lebih banyak tentang siapakah sebenarnya saya ini.<br />
<br />
Nah, sepertinya sudah lumayan banyak kata-kata yang saya keluarkan, maaf kalau saudara jadi bosan dibuatnya. Sekarang terserah saudara mau bagaimana. Mau langsung membaca silakan, atau mau langsung pergi dari sini juga tidak apa-apa. Saya tidak pernah ingin memaksa saudara. Benar-benar tidak pernah ingin.<br />
<br />
Salam,<br />
Noor H. DeeUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8820371774813625926.post-34447412352037292192010-09-02T09:27:00.000+07:002010-09-02T09:36:58.273+07:00Obsolet<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Aku </span>lahir dari sekumpulan doa yang belum sempat terucap dari mulut mayat para pendosa. Aku tumbuh bersama sederetan harapan yang telah lama usang. Dan, aku yakin, betapa aku akan mati di hadapan kepastian yang muram. Itu sebabnya aku ingin menjelma angin, menjelma awan, menjelma rembulan, menjelma apa saja yang dapat membebaskan diriku dari segala macam bentuk percakapan.<o:p></o:p><br /><br /><span style="" lang="IN">Namun, aku mengerti betapa aku akan tetap selalu seperti ini. Tetap menjadi seorang pemuda celaka yang dungu menerjemahkan waktu, letih mempertanyakan hari, dan lelah merangkai resah. Aku tak lebih dari seekor kupu-kupu yang tak dapat lagi terbang menggumuli udara, mencumbui bunga-bunga, sebab sepasang sayapku telah berubah menjelma patah.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Tak ada yang lebih teka-teki dari sekumpulan kesunyian yang tak pernah memberikan kesempatan bagi suara untuk angkat bicara.” Aku berkata kepada Zulmat, sebuah boneka usang yang telah kehilangan sebelah mata kancingnya.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Lenyap sajalah!” ujar Zulmat kemudian.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Aku langsung tersenyum.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Ya, sepertinya memang lebih baik begitu.”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Aku susuri kota ini ketika malam sudah tampak begitu kelam. Rembulan di atas sana tampak seperti perahu yang sedang mengarungi semesta kegelapan. Sering aku bergurau dengan Zulmat yang tak pernah lepas dari genggamanku, “Akulah rembulan dan kamulah aspal jalanan. Aku ada untuk beranjak, dan kamu ada untuk terinjak!” Biasanya Zulmat cuma bisa menggerutu, namun tak jarang pula ia membalas, “Aku memang sebuah boneka buruk rupa yang telah kehilangan sebelah mata, tapi aku masih mampu mengatakan ‘Halo’ kepada dunia! Tidak seperti kau, pengecut muda yang hidup tak berani, mati pun tak berani! Hahaha!”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Hmm. Boneka yang brengsek, bukan?<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Aku temukan Zulmat di sebuah selokan mampet yang berada di antara bangunan-bangunan tua di sebuah kota entah bernama apa, pada lewat tengah malam. Boneka itu tampak seperti bangkai tikus yang terapung di antara bekas bungkus indomie dan botol-botol kosong. Namun, aku yakin itu adalah boneka. Aku segera memungutnya. Sebab, jujur saja, saat itu aku memang sedang membutuhkan teman bicara yang bukan berasal dari jenis manusia. Berbicara dengan manusia tidak pernah menyenangkan. Selalu ada ruang untuk salah paham, selalu ada jeda untuk salah sangka. Manusia adalah mahluk yang paling merepotkan. Itu sebabnya aku langsung meraih Zulmat untuk aku jadikan sebagai teman bicara.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Mulai sekarang kita adalah teman. Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanyaku saat itu. Ia menjawab, “Zulmat.”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Malam masih menyajikan pemandangan yang serupa. Kini aku sedang berada di depan restoran siap saji yang buka 24 jam. Di dalam restoran itu aku melihat kesunyian. Meja-meja kosong. Bangku-bangku kosong. Di balik pintu kaca itu terlihat seorang pelayan berdiri dengan wajah yang juga kosong. Sepasang mata pelayan itu sempat terlihat semangat ketika melirik ke arahku di kejauhan, tetapi segera kembali sayu dan langsung menghela nafas panjang ketika ia sadar betapa aku ternyata bukanlah seseorang yang ia harapkan. Dan wajahnya pun kembali seperti semula. Kosong.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Mengapa ia tidak pulang saja?” tanyaku sambil terus melangkah, “mendengkur di tempat tidur tentu lebih menyenangkan ketimbang harus berdiri seperti itu.”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Zulmat tertawa terkekeh-kekeh, dan berkata, “Setidaknya ia lebih berani menatap hidup ketimbang kau!”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Tidak aku dengarkan ucapan boneka brengsek itu. Aku masih terus menyusuri jalan raya kota tanpa peduli dengan lelah. Rembulan berbentuk perahu masih terus membuntutiku. Seorang pelayan berwajah kosong yang tadi berdiri di balik pintu restoran itu sudah berada jauh beberapa langkah di belakang punggungku.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Kini di hadapanku tampak seorang waria berhidung palsu, berbulu mata palsu, dan berpayudara palsu, sedang berdiri di bawah sinar lampu jalanan. Bajunya ketat sekali, sampai-sampai pantatnya (palsu jugakah?) yang sebesar bola kaki itu tampak seperti ingin mencuat keluar. Aku memandangnya. Ia memandangku, sambil berkata, “Huss... huss....” Waria itu mundur tiga langkah ke belakang, menjauhiku. Langkahnya centil sekali. Aku masih terus menatapnya. Ia begidik jijik seraya membuang muka.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Setelah melewatinya beberapa langkah, aku bertanya kepada Zulmat, “Mengapa ia harus menjadi seperti itu? Apa ia termasuk orang-orang pemberani, seperti yang selalu kamu katakan kepadaku?”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Tidak ada jawaban.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Apakah setiap pemberani memang harus berlaku seperti itu? Harus berani menghadapi berbagai macam kemungkinan? Harus berani menjadi palsu?”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Tetap tidak ada jawaban.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Aku angkat boneka brengsek itu. Aku tatap mata kancingnya yang cuma tersisa satu. Brengsek! Ia sudah tertidur!<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Aku biarkan pertanyaanku tadi mengambang tanpa jawaban. Zulmat aku dekap di dada dengan kedua tangan, sambil berharap semoga ia tidak kedinginan.<o:p></o:p></span><span style="" lang="IN"><o:p> []</o:p></span><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><b style=""><span style="" lang="IN">Selesai</span></b><br /><span style="" lang="IN">Depok, 2009</span><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></b></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8820371774813625926.post-77848595200348669212010-09-02T09:25:00.001+07:002010-09-03T08:12:48.852+07:00Lelaki Tua yang Ingin Menyeberang Jalan<div style="text-align: justify;"><b>Lelaki tua</b> itu belum juga bisa menyeberang. Padahal sudah tiga puluh menit ia berdiri di tepi jalan. Kepalanya selalu menoleh ke kanan, sambil berharap semoga ada seorang pengemudi yang murah hati, yang berkenan menghentikan laju mobilnya untuk kemudian mempersilakan dirinya menyeberang. Namun, tidak ada satu mobil pun yang berhenti. Semua mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Ia menghela nafas panjang, dengan kepala masih terus menoleh ke kanan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lelaki tua itu terbatuk. Kulit pipinya bergetar. Ia meraih sapu tangan dari dalam saku kemeja batiknya, mengelap sisa air liur yang menempel di kumisnya yang tebal, lantas kembali menoleh ke kanan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tangan kanannya yang sudah keriput mengenggam tongkat kayu yang ujungnya menyentuh aspal. Tongkat itu tidak bisa diam. Sama seperti sepasang kakinya yang selalu gemetar. Tubuh lelaki tua itu agak bungkuk dan tampak begitu ringkih. Usianya barangkali sama seperti usia patung tugu yang sudah berlumut dan keropos termakan waktu, yang berdiri hampir rubuh di pusat kota.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedan melesat dengan kecepatan yang cukup mengerikan dan sepeda motor melaju begitu laju sambil terus menyalip tanpa ragu, sehingga jalan raya yang berada di depan lelaki tua yang ingin menyeberang jalan itu tak pernah menyisakan sedikit pun ruang lengang untuk sekadar menyeberang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku sama sekali tidak mengerti, mengapa aku bisa mencintai laki-laki macam kamu? Setiap ingin menyeberang, kamu selalu takut, dan akhirnya aku yang akan selalu menuntunmu. Sungguh tidak romantis.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku bukan takut menyeberang, Sayang. Aku hanya takut tertabrak.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Tapi kamu laki-laki. Tidak seharusnya laki-laki bersikap seperti itu.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku hanya tidak ingin mati konyol.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Terus mau sampai kapan kita berdiri di pinggir jalan seperti ini?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Sampai tidak ada lagi kendaraan yang berlalu-lalang, setelah itu baru kita menyeberang.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ah, itu terlalu lama, Sayang! Sekarang pegang tanganku. Kita akan menyeberang sekarang!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lelaki tua itu menyerahkan tangan kirinya, dan ia merasakan butiran-butiran debu menempel di sana. Kepalanya menoleh ke kiri secara perlahan. Tidak ada siapa-siapa. Lengang. Selengang hatinya yang selalu teringat mendiang istrinya setiap kali ia ingin menyeberang jalan. []</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>SELESAI</b></div><div style="text-align: justify;">Depok, 2009</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8820371774813625926.post-16422363858370488082010-09-02T09:21:00.000+07:002010-09-02T09:31:46.873+07:00Kisah Cinta yang Paling Tidak Sopan<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Ron </span>adalah lelaki yang tak pernah menyisir rambut. Baginya, kehidupan akan tetap selalu brengsek meskipun seluruh lelaki menyimpan sisir di dalam kantung celananya.<o:p></o:p><br /><br /><span style="" lang="IN">Yul adalah perempuan yang tak pernah memakai lipstik. Baginya, tanpa mengenakan lipstik pun seorang perempuan masih bisa tetap tampil cantik dan menarik.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Kemudian iblis mempertemukan mereka di ruang tunggu puskesmas. Ron dan Yul duduk bersebelahan di bangku panjang yang sudah terisi penuh. Di sebelah kanan Ron adalah seorang lelaki tua yang sejak tadi selalu menggerutu sendirian sambil batuk-batuk tidak karuan. Di sebelah kiri Yul adalah seorang gadis remaja yang pipi kirinya bengkak sebesar sekepalan tangan.</span><br /><br /><span style="" lang="IN">Pagi itu Ron bukan bermaksud ingin berobat, melainkan ingin membeli surat dokter. Hari ini ia malas pergi ke kantor, dan ia tidak ingin gajinya berkurang lantaran tidak menyerahkan surat dokter kepada atasannya. Yul juga sebenarnya sedang tidak menderita suatu penyakit apa pun. Pagi itu ia hanya ingin menyaksikan orang-orang sakit, agar ia sedikit terhibur—bahwa ternyata ada yang lebih menderita dari dirinya yang kebetulan pagi itu memang sedang memiliki masalah.<o:p></o:p></span><br /><br /><i><span style="" lang="IN">Handphone </span></i><span style="" lang="IN">milik Ron berbunyi. Suaranya nyaring sekali. Seorang lelaki tua yang duduk di sebelah Ron sempat terlonjak kaget dan langsung menggerutu sambil kembali batuk-batuk. Dari nada deringnya, Ron tahu bahwa yang menelepon adalah istrinya. Ron membiarkan <i>handphone</i>nya terus berbunyi dan bergetar di dalam genggaman tangannya. Ia malas mengangkatnya. Benar-benar malas.</span><br /><br /><span style="" lang="IN">Yul melirik ke arah Ron. <i>Kenapa tidak diangkat</i>? tanya Yul dalam hati. Kemudian Ron membalas lirikan Yul. Keduanya bertatapan. Ron tersenyum, Yul—entah kenapa—ikut-ikutan tersenyum. Di sudut ruang tunggu puskesmas, sang iblis juga ikut-ikutan tersenyum, kemudian tertawa-tawa, kemudian terbahak-bahak, kemudian menghilang begitu saja. Tawa sang iblis masih terus menggema, dan tak ada yang dapat mendengarnya.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Ron dan Yul masih terus bertatapan dan masih saling memberikan senyuman. <i>Handphone </i>Ron masih terus berbunyi, berbunyi, dan terus selalu bergetar tiada henti. Entah sampai kapan.... []<o:p></o:p></span><strong></strong><br /><strong></strong><br /><strong><span style="" lang="IN">SELESAI</span></strong><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><br /><span style="" lang="IN">Jagakarsa, 27 Agustus 2010<o:p></o:p></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8820371774813625926.post-22345468482335431442010-09-02T08:31:00.000+07:002010-09-02T09:33:16.799+07:00Orang-Orang Terowongan<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Kami </span>bukan cacing. Kami bukan tikus. Namun, kami hidup di dalam tanah. Merayap-rayap dalam gelap, mengendap-ngendap dalam semesta yang lembab. Menyebalkan sekali. Apalagi kami sadar bahwa kalian hidup dengan amat bebas di dunia yang berada di atas kepala dan punggung kami. Kami mendengar percakapan kalian di meja makan. Sendok-garpu berdenting menyentuh piring, decak mulut yang dipenuhi makanan, dan sendawa. Kalian berbincang-bincang sambil menonton televisi, kalian berdiskusi di sebuah cafe yang teletak di persimpangan jalan, dan anak-anak kalian berangkat sekolah sambil bermain kejar-kejaran. Kami mengetahui semua yang kalian kerjakan. Kami mendengar segala hal yang kalian lakukan. Namun, sekali lagi, kami bukan seekor cacing atau pun seekor tikus. Kami adalah orang-orang terbuang yang terpaksa harus hidup di dalam terowongan.<o:p></o:p><br /><br /><span style="" lang="IN">Terowongan yang kami gali dengan tangan sendiri ini hanyalah terowongan biasa yang bentuknya sengaja kami buat seperti labirin. Sempit dan kami tidak bisa berdiri. Posisi kami seperti sekumpulan orang yang sedang berbaris dalam posisi merangkak. Setiap hujan turun, airnya merembes dan membasahi kepala dan punggung kami. Aroma tanah basah merasuk ke dalam lubang hidung kami. Air menggenang menenggelamkan telapak tangan dan kaki kami. Bisa dibayangkan betapa menyebalkan hidup seperti ini.</span><br /><br /><span style="" lang="IN">Di dalam terowongan inilah kami bernapas, bergerak, berbicara, dan hidup. Pada mulanya kami begitu tersiksa. Punggung kami pegal-pegal karena harus selalu merangkak dan merayap setiap hari. Kami tidak biasa menjalani hidup seperti ini. Setiap hari kami selalu kedinginan. Apa boleh buat. Segala cara kami lakukan agar tetap bisa bertahan hidup. Kami tidak ingin mati. Bukankah alasan kami untuk hidup di dalam terowongan ini adalah karena memang ingin menghindari kematian? Meskipun kami sadar betul bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja, tapi setidaknya kami tidak ingin mati konyol karena dihujani rudal-rudal kalian.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Begitulah. Kami pun mulai terbiasa menjalani hidup di dalam terowongan. Kami saling bertukar informasi, saling menasehati untuk tetap bersabar, dan saling berbagi makanan. Alhamdulillah, meskipun selalu kedinginan dan selalu merangkak seharian, kami tidak pernah kelaparan. Stok persediaan makanan kami masih cukup untuk waktu yang tidak bisa kami tentukan. Sebelum memutuskan untuk hidup di sini, kami memang telah menyimpan bahan makanan di salah satu lubang yang kami gali dengan tangan sendiri.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Kalian tentu tidak tahu dan pasti tidak mau tahu tentang penderitaan yang kami rasakan, dan kami tidak peduli. Adalah bodoh jika kami mengharapkan belas kasihan dari kalian. Bukankah kami jadi seperti ini juga karena ulah kalian? Lagi pula, menurut kami, terowongan ini masih jauh lebih baik daripada harus menjalani hidup berdampingan dengan kalian. Setiap hari selalu saja ada rumah-rumah kami yang hancur berantakan karena dihantam bom sialan milik kalian. Setiap menit selalu saja ada anak-anak kami yang pecah kepalanya lantaran dihajar peluru panas yang meluncur dari senjata api milik kalian yang setiap detik selalu saja terkokang. Entah sudah berapa banyak masjid kami ambruk sampai merata dengan aspal. Entah sudah berapa banyak air mata dan darah yang telah kami keluarkan. Kalian telah menghancurkan peradaban dan kebudayaan yang sudah sejak lama kami bangun.</span><br /><br /><span style="" lang="IN">Kami lelah setiap hari selalu menjalani kehidupan seperti itu. Apa artinya hidup jika selalu merasa terancam? Apa artinya hari esok jika hari ini kami bisa saja mati? Kami sering merasa betapa kematian sedang menunggu di depan pintu rumah kami, seperti tukang jagal yang selalu siap kapan saja menghunuskan pisaunya ke leher kami. Sekali lagi, kami lelah, sehingga keputusan untuk hidup di dalam terowongan demi menghindari kematian adalah keputusan yang paling masuk akal dan tak perlu lagi kami perdebatkan.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Terowongan ini gelap sekali. Semula kami tidak dapat melihat apa pun. Segalanya hitam. Pekat seperti tinta. Namun, entah kenapa, mungkin karena kami sudah mulai terbiasa hidup di dalam terowongan, kegelapan yang semula menyelimuti bola mata kami, secara perlahan sirna. Kami mulai bisa melihat dalam kegelapan. Bahkan kami bisa menyaksikan sebutir air mata yang jatuh dari pipi salah seorang rekan kami yang menangis. Setiap kali ada yang menangis, seperti biasa, kami akan menghibur hatinya.</span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Bersabarlah. Allah tak akan membebani kaum-Nya kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Jangan menangis. Kita berada di sini bukan berarti Allah membenci kita. Bukan. Kita berada di terowongan ini bukan berarti kita lemah. Bukan. Sekali lagi, bukan. Kita berada di tempat yang indah seperti ini, karena ada yang sedang kita perjuangkan. Percayalah, selalu ada balasan untuk setiap perbuatan. Tak ada yang sia-sia. Allah mengetahui apa yang berada di dalam hatimu. Allah mengerti apa arti airmata yang mengalir di pipimu. Tersenyumlah....” Biasanya, setelah kami berkata seperti itu, salah seorang dari kami yang menangis itu akan langsung tersenyum.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Semula kami juga tidak mampu mendengar apa-apa. Di dalam terowongan ini telinga kami jadi pekak. Sunyi sekali. Kami berbicara dengan bahasa isyarat yang telah kami sepakati bersama. Tapi, entah kenapa, setelah sekian lama hidup di dalam terowongan, lambat laun telinga kami dapat mendengar segala macam jenis suara. Segalanya menjadi begitu jelas. Bahkan kami dapat mendengar suara sehelai daun yang jatuh di permukaan tanah yang berada tepat di atas kepala dan punggung kami.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Di lubang inilah kami hidup dan bertahan, entah sampai kapan. Namun, kami tahu bahwa tidak akan selamanya kami tinggal di dalam terowongan ini. Sebab, bagaimana pun juga kami sangat merindukan matahari, langit pagi, rerumputan, dan tanah tempat kami dilahirkan. Kami juga merindukan bagaimana rasanya menjalani hidup sambil berdiri tegak dengan kaki sendiri.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">***<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Kedatangan kalian di negeri kami adalah sebuah bencana terbesar yang sebelumnya tidak pernah kami rasakan. Kalian telah membuat ketenangan hidup kami hilang, digantikan oleh teror-teror kejam yang mengancam. Kalian adalah para pemukim yang paling tidak sopan, tamu tak diundang yang paling kurang ajar. Kami terasing di negeri sendiri. Keberadaan kami lambat-laun terbantahkan.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Kalian mengatakan kepada kami bahwa negeri yang sejak kecil kami tempati ini adalah tanah yang telah Tuhan janjikan untuk kalian. Kalian menganggap bahwa keberadaan kami telah menyalahi firman Tuhan yang tertulis di dalam lembaran kitab suci kalian. Di mata kalian kami adalah kaum pesakitan yang sudah semestinya dibinasakan. Kami tidak habis pikir, kitab suci macam apakah yang mengamini pembunuhan massal dan menyeru kepada perampasan?<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Tentu saja kami tidak tinggal diam. Berdiam diri dalam situasi seperti itu, menurut kami, adalah sebuah pengkhianatan. Kami lantas berjuang bersama-sama untuk mengusir kalian. Kalian memiliki peluru, kami memiliki ketapel dan batu. Kalian memiliki semangat membunuh, kami memiliki keyakinan yang tangguh. Setiap hari kami melakukan perlawanan. Bahkan anak-anak kami pun turut melempari kalian dengan batu, seperti Daud yang juga melempari batu ketika bertarung melawan raksasa Goliath. Namun, ternyata perjuangan memang tidak semudah mengangkat telapak tangan yang kemudian kita gunakan untuk berdoa kepada Tuhan. Satu-persatu orang-orang dari kami tumbang. Kekejaman kalian terhadap kami semakin menjadi-jadi. Semakin banal dan mengerikan. Kalian membunuh anak-anak kami, menghancurkan rumah-rumah kami, meluluh-lantakkan negeri kami. Adalah kalian yang telah mengajari kami tentang arti kehilangan.</span><br /><br /><span style="" lang="IN">Setelah itu kami memutuskan untuk hidup di dalam terowongan. Ketika segala macam bentuk perlawanan yang kami lakukan selalu berakhir dalam kekalahan, kami memutuskan untuk menggali tanah. Kami tidak ingin meninggalkan negeri ini. Apa pun risikonya, kami harus menetap di sini. Ini bukan tentang nasionalisme. Ini adalah tentang kami, penduduk asli negeri ini, yang tidak ingin terusir dari negerinya sendiri. Itu sebabnya kami menggali tanah negeri kami, membangun sebuah terowongan, untuk kemudian kami tinggali. Meskipun harus hidup berkalang tanah seperti cacing, merangkak-rangkak seperti tikus, setidaknya kami tidak perlu merasa berkhianat karena harus pergi mengungsi.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">***<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Rupanya kematian memang tidak seperti asap yang dapat kita halau kedatangannya. Ia, kematian itu, singgah ke dalam terowongan, menemui kami. Beberapa orang dari kami mati. Semula hanya batuk-batuk, lantas demam tinggi, meriang, untuk kemudian mati. Entahlah, mungkin karena sudah terbiasa menyaksikan kematian, mendapati teman-teman kami rubuh karena nyawanya telah melejit entah ke mana (semoga saja ke surga. Amin), kami sama sekali tidak menangis. Tak ada upacara selain doa dalam hati. Semakin lama semakin banyak orang-orang kami yang mati. Semula hanya batuk-batuk, lantas demam tinggi, meriang, untuk kemudian mati. Begitu seterusnya. Kami biarkan jasad teman kami kaku begitu saja. Kami tidak tahu lagi bagaimana caranya mengurus orang mati, selain mendoakannya.</span><br /><br /><span style="" lang="IN">Lantas, kami pun hidup berdampingan dengan teman-teman kami yang telah mati. Kadang kami mengajak mereka, teman-teman kami yang telah menjadi mayat itu, berbicara. Kadang kami bertanya kepada mereka, apakah bidadari surga itu cantik semua? Seperti apakah surga itu? Benarkah ada sungai susunya? Seperti apakah rupa Tuhan? Tentu saja mereka tidak bisa menyahut. Tubuh mereka kaku seperti kayu. Kami tidak peduli. Kami hanya tidak tahu mesti berbuat apa lagi.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Ternyata seperti ini rasanya menggali kuburan sendiri,” ujar salah seorang teman kami tiba-tiba.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Tentu saja kami terhenyak. Kesadaran kami seperti terbetot. Tidak! Tidak bisa! Kami membangun terowongan ini bukan karena ingin menggali kuburan kami sendiri! Kami hidup di sini sebab ingin menghindari kematian yang tidak kami harapkan.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Seperti tersadar dari lamunan panjang, kami pun mulai berisik.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Kita sudah seperti tikus!”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Perjuangan macam apa ini? Sampai kapan kita harus merangkak terus seperti ini?”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Kita akui saja bahwa kita memang kaum pecundang!”</span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Kita diciptakan memang untuk terbuang!”</span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Seperti inikah nasib kaum pilihan, kaum yang di dalam hadist dikatakan sebagai kaum paling unggul dan akan menguasai peradaban?”</span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Bukankah Allah tidak akan pernah mengubah nasib kita, jika kita tidak berusaha untuk mengubah nasib kita sendiri?”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“Ternyata kita memang tidak mampu mengubah nasib kita sendiri!” <o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“...”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">“...”<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Hening.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Hening.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Lama sekali.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Setelah itu kami mulai berbisik-bisik. Serius sekali. Kalian tentu tak akan bisa mendengarnya. Bukankah sejak dulu kalian memang tidak pernah mau mendengar suara-suara yang keluar dari mulut orang-orang terbuang?<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">***<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Kami bukan cacing. Kami bukan tikus. Kami adalah orang-orang terbuang yang terpaksa harus hidup di dalam terowongan, yang saat ini sedang menyusun rencana perjuangan untuk mengusir kalian. Kali ini, kami yakin, rencana ini pasti akan berhasil.<o:p></o:p></span><br /><br /><span style="" lang="IN">Tunggu saja.<o:p></o:p></span> []<br /><br /><b style=""><span style="" lang="IN">SELESAI<o:p></o:p></span></b><br /><span style="" lang="IN">Depok, 1-3 Februari 2009</span><br /><span style="" lang="IN"><span style="font-style: italic;">(cerpen ini dimuat di dalam antologi cerpen yang berjudul <span style="font-weight: bold;">Gadis Kota Jerash</span>, terbitan Lingkar Pena Publishing House)</span><o:p></o:p></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8820371774813625926.post-59363561283369808662010-09-02T08:19:00.001+07:002011-04-18T14:19:01.890+07:00Sang Penulis<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghV6iBMzEY_aE8IDqlkFEHxf56sjPqJtPruQJlGhKJaLyo-2g7YRUsOjmn-c3IkT687dRtelf8fPXI99WKK0oLwwTQOpNZalDA1CEzLCjkDuS_HL-SsJeJgebxZbKtRKIRkd-X4djWiJfZ/s1600/sang-penulis.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="310" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghV6iBMzEY_aE8IDqlkFEHxf56sjPqJtPruQJlGhKJaLyo-2g7YRUsOjmn-c3IkT687dRtelf8fPXI99WKK0oLwwTQOpNZalDA1CEzLCjkDuS_HL-SsJeJgebxZbKtRKIRkd-X4djWiJfZ/s320/sang-penulis.jpg" width="320" /></a></div><span style="font-weight: bold;">Penulis </span>itu mencopot kedua tangannya dan dibuang ke tempat sampah. Kedua tangannya menggelepar sebentar lantas diam seperti tangan orang pingsan.<o:p></o:p><br />
<br />
<span lang="IN">Ia mencopot kedua tangannya begitu saja. Tidak dengan pisau dan semacamnya. Tak ada darah yang membuncah dan semacamnya. Tak ada luka yang menganga dan semacamnya. Ia memperlakukan tubuhnya seperti lego yang dapat dicopot dan dibuang semaunya.</span><br />
<br />
<span lang="IN">Ada kegetiran yang begitu abstrak, yang tak bisa ia katakan, dan ia mengerti bahwa sejak dahulu kata-kata memang seperti itu: tidak pernah bisa diandalkan untuk menjelaskan segala hal. Kata-kata hanyalah sebuah usaha untuk mendekati kebenaran, tapi selalu berhenti di titik hampir. Ia mengerti sekali akan hal itu.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Ia sudah bertahun-tahun menjadi penulis. Setiap detik ia selalu bergumul dengan kata-kata yang tidak pernah setia: menemukannya, mendedahnya, membongkarnya, dan meragukannya. Itu sebabnya ia tidak tahu mesti berkata apa ketika menyaksikan kedua tangannya teronggok di tempat sampah. Seperti kesedihan tapi bukan itu, seperti kebahagiaan tapi itu pun masih kurang tepat. Entahlah. Ia hanya bisa diam, dan ia merasa betapa diam ternyata masih lebih baik dari segala macam kata yang pernah manusia temukan. Alasan mengapa ia membuang kedua tangannya ke tempat sampah cukup sederhana: ia tidak ingin menulis lagi.</span><br />
<br />
<span lang="IN">Sebenarnya sudah lama sekali ia ingin berhenti menulis. Pena dan kertas telah ia buang, laptopnya telah ia hibahkan kepada kekasihnya yang gemar berkata-kata kotor, dan buku-buku yang sekiranya dapat membangkitkan gairah menulisnya sudah ia bakar di halaman belakang dengan menggunakan beberapa batang korek api dan setengah liter minyak tanah. Tidak lupa, hampir setiap malam ia juga selalu memohon kepada Tuhan yang selama ini sering ia khianati, agar bakat menulisnya segera dicabut sampai ke akar-akarnya. Dan, hasilnya adalah setiap malam ia harus menderita sakit kepala.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Ia kesal karena seluruh usahanya selalu gagal. Ia masih tetap terus menulis. Ia menulis di pintu kulkas, di layar telepon genggam, di bak kamar mandi, di bantal, di cermin, di lipatan baju, di kalender, di meja makan, di sepatu, di kantung celana, di permukaan piring, dan di kaca jendela yang jarang sekali terbuka. Bahkan ketika sedang tertidur pun ia masih mampu menyelesaikan dua buah cerita pendek di selimut tebal tempat ia biasa bersembunyi dari dinginnya malam. Ia juga tidak tahu mengapa semua itu bisa terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia masih terus saja menulis. Karena bingung mesti berbuat apa lagi, sedangkan aktifitas menulisnya tidak juga kunjung berhenti, tanpa pikir panjang lagi ia langsung mencopot kedua tangannya untuk kemudian dibuang ke tempat sampah.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Ia berhenti menulis karena ia merasa menulis adalah perbuatan yang percuma. Ia sudah menulis ribuan puisi, ratusan cerita pendek, dan puluhan novel. Belum lagi ditambah dengan beberapa artikel dan essai yang pernah dimuat di beberapa majalah dan surat kabar nasional. Banyak orang yang kemudian mengidolakannya, memborong semua karya-karyanya, bahkan ada yang sampai tergila-gila begitu rupa kepadanya. Ia memang hanya penulis, namun popularitasnya sudah hampir sama dengan para selebritas nasional. Setiap kali ia meluncurkan buku baru, berbagai jenis manusia dari berbagai jenis penjuru berbondong-bondong memadati ruangan acara itu. Bisa dipastikan betapa ia akan merasakan letih yang amat luar biasa, karena mau tidak mau ia harus menandatangani setiap buku yang dibeli oleh penggemar fanatiknya yang jumlahnya banyak itu. Semula ia memang jumawa dengan semua itu. Namun, akhirnya ia sadar, bahwa ternyata semua itu adalah percuma.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Semua itu bermula dari pertanyaan sederhana yang terlontar dari mulut seorang gadis pada saat acara peluncuran bukunya sedang berlangsung: apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun? Pertanyaan sederhana itu ia jawab dengan lancar. Menulis adalah semacam katarsis, yang dapat membebaskan kita dari kejumudan. Ia juga mengatakan bahwa seorang penulis bukanlah nabi, yang disuruh Tuhan untuk mengubah suatu kaum. Tugas seorang penulis bukanlah untuk mengubah keadaan, melainkan hanya ingin mengabarkan tentang segala hal yang sedang terjadi di depan mata kita secara apa adanya. Semua yang hadir dalam acara itu mengangguk-angguk, merasa takjub, untuk kemudian bertepuk tangan bersama-sama.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Tidak ada yang tahu bahwa sesampainya ia di rumah, ketika ingin beranjak tidur, pertanyaan itu masih terus membututinya: <i>apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun?</i> Keesokan harinya pertanyaan itu kembali terngiang di benaknya. Di hari-hari berikutnya pun demikian. Sampai akhirnya penulis itu lelah, dan mulai merasa gelisah.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<i><span lang="IN">Apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun?</span></i><span lang="IN"><o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Penulis itu gelisah bukan kepalang. Semula ia tidak peduli dengan pertanyaan sepele itu. Semula ia menganggap bahwa tugas seorang penulis ya hanya menulis saja. Titik. Tidak lebih dari itu. Tapi, entah kenapa, akhirnya ia sepakat bahwa ternyata dirinya adalah seorang penulis yang tiada berguna.</span><br />
<br />
<span lang="IN">Ia sudah banyak menerbitkan buku, tapi ia sama sekali belum bisa mengubah apa pun. Sebenarnya ia juga tidak tahu apa yang mesti diubah, tapi ia sadar bahwa keadaan memang masih tetap begini-begini saja. Tidak ada yang berubah. Ia sering mengangkat tema tentang kemiskinan dalam setiap cerpen-cerpennya, tapi sampai sekarang kemiskinan itu masih ada dan tak pernah berubah. Ia sering mengangkat tema tentang kerusakan alam di setiap sajak-sajaknya, tapi sampai sekarang masih banyak saja orang-orang yang tidak peduli dengan alam, malah lebih parah dari sebelumnya. Ia juga sering mengangkat tema tentang kemunafikan manusia di setiap novel-novelnya, tapi hingga detik ini kemunafikan itu belum juga hilang.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Begitulah. Akhirnya penulis itu memutuskan untuk berhenti menulis dan membuang kedua tangannya ke tempat sampah.</span><br />
<br />
<span lang="IN">“Selesai sudah,” gumam penulis itu sambil menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Lebih baik tidak usah menulis sama sekali, ujarnya dalam hati, dari pada menulis tapi tidak pernah dihiraukan sama sekali.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Tidak lama kemudian, penulis itu tertidur.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">***<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Penulis itu terbangun dan terkejut bukan main. Ia melihat dinding kamarnya sudah dipenuhi dengan tulisan. Begitu pula dengan lemari baju, permukaan piring, sepatu, sampai atap rumahnya pun telah dipenuhi tulisan. Ada yang berupa puisi, cerita pendek, fiksimini, pantun, haiku, dan ada pula yang hanya berupa sekumpulan kata-kata yang tersusun secara acak tanpa bisa diketahui apa maknanya. Penulis itu kembali menderita sakit kepala. Ia tahu betul bahwa semua tulisan itu adalah tulisan tangannya. Bukan tulisan orang lain. Ia tidak tahu kalau pada akhirnya akan menjadi sesulit ini. Ia juga tidak tahu bagaimana ia bisa membuat tulisan-tulisan itu, padahal sepasang tangannya telah teronggok di tempat sampah. Mungkinkah ia menulis dengan kakinya? Atau mulutnya? Atau telinganya? Atau dengan pikirannya? Ia tidak tahu. Kepalanya benar-benar ingin pecah.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">“Mengapa jadi sulit begini, padahal aku hanya ingin berhenti menulis? Ah, sepertinya lebih baik aku mati saja!” ujarnya sambil bangkit dari rebahnya, berjalan mendekati lemari pakaiannya yang tertutup, dan susah payah menarik pintu lemari itu dengan gigi depannya.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Di dalam lemari itu tampak sebuah pistol yang mengilat. Ia tersenyum. Ya, lebih baik aku mati saja, ujarnya dalam hati.<o:p></o:p></span><br />
<br />
<span lang="IN">Namun, seketika itu pula ia terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara menembakkan pistol ke dalam mulutnya. Sebab, ia baru ingat, kedua tangannya telah berada di dalam tempat sampah!<o:p></o:p></span> []<br />
<br />
<b><span lang="IN">Selesai<o:p></o:p></span></b><br />
<span lang="IN">Depok, 2009- Maret 2010</span><br />
<span lang="IN"></span><br />
<span lang="IN"><o:p>Cerpen ini dimuat di harian <b>Koran Tempo</b>, Minggu, 17 April 2011</o:p></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0