Kamis, 02 September 2010

Obsolet

Aku lahir dari sekumpulan doa yang belum sempat terucap dari mulut mayat para pendosa. Aku tumbuh bersama sederetan harapan yang telah lama usang. Dan, aku yakin, betapa aku akan mati di hadapan kepastian yang muram. Itu sebabnya aku ingin menjelma angin, menjelma awan, menjelma rembulan, menjelma apa saja yang dapat membebaskan diriku dari segala macam bentuk percakapan.

Namun, aku mengerti betapa aku akan tetap selalu seperti ini. Tetap menjadi seorang pemuda celaka yang dungu menerjemahkan waktu, letih mempertanyakan hari, dan lelah merangkai resah. Aku tak lebih dari seekor kupu-kupu yang tak dapat lagi terbang menggumuli udara, mencumbui bunga-bunga, sebab sepasang sayapku telah berubah menjelma patah.

“Tak ada yang lebih teka-teki dari sekumpulan kesunyian yang tak pernah memberikan kesempatan bagi suara untuk angkat bicara.” Aku berkata kepada Zulmat, sebuah boneka usang yang telah kehilangan sebelah mata kancingnya.

“Lenyap sajalah!” ujar Zulmat kemudian.

Aku langsung tersenyum.

“Ya, sepertinya memang lebih baik begitu.”

Aku susuri kota ini ketika malam sudah tampak begitu kelam. Rembulan di atas sana tampak seperti perahu yang sedang mengarungi semesta kegelapan. Sering aku bergurau dengan Zulmat yang tak pernah lepas dari genggamanku, “Akulah rembulan dan kamulah aspal jalanan. Aku ada untuk beranjak, dan kamu ada untuk terinjak!” Biasanya Zulmat cuma bisa menggerutu, namun tak jarang pula ia membalas, “Aku memang sebuah boneka buruk rupa yang telah kehilangan sebelah mata, tapi aku masih mampu mengatakan ‘Halo’ kepada dunia! Tidak seperti kau, pengecut muda yang hidup tak berani, mati pun tak berani! Hahaha!”

Hmm. Boneka yang brengsek, bukan?

Aku temukan Zulmat di sebuah selokan mampet yang berada di antara bangunan-bangunan tua di sebuah kota entah bernama apa, pada lewat tengah malam. Boneka itu tampak seperti bangkai tikus yang terapung di antara bekas bungkus indomie dan botol-botol kosong. Namun, aku yakin itu adalah boneka. Aku segera memungutnya. Sebab, jujur saja, saat itu aku memang sedang membutuhkan teman bicara yang bukan berasal dari jenis manusia. Berbicara dengan manusia tidak pernah menyenangkan. Selalu ada ruang untuk salah paham, selalu ada jeda untuk salah sangka. Manusia adalah mahluk yang paling merepotkan. Itu sebabnya aku langsung meraih Zulmat untuk aku jadikan sebagai teman bicara.

“Mulai sekarang kita adalah teman. Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanyaku saat itu. Ia menjawab, “Zulmat.”

Malam masih menyajikan pemandangan yang serupa. Kini aku sedang berada di depan restoran siap saji yang buka 24 jam. Di dalam restoran itu aku melihat kesunyian. Meja-meja kosong. Bangku-bangku kosong. Di balik pintu kaca itu terlihat seorang pelayan berdiri dengan wajah yang juga kosong. Sepasang mata pelayan itu sempat terlihat semangat ketika melirik ke arahku di kejauhan, tetapi segera kembali sayu dan langsung menghela nafas panjang ketika ia sadar betapa aku ternyata bukanlah seseorang yang ia harapkan. Dan wajahnya pun kembali seperti semula. Kosong.

“Mengapa ia tidak pulang saja?” tanyaku sambil terus melangkah, “mendengkur di tempat tidur tentu lebih menyenangkan ketimbang harus berdiri seperti itu.”

Zulmat tertawa terkekeh-kekeh, dan berkata, “Setidaknya ia lebih berani menatap hidup ketimbang kau!”

Tidak aku dengarkan ucapan boneka brengsek itu. Aku masih terus menyusuri jalan raya kota tanpa peduli dengan lelah. Rembulan berbentuk perahu masih terus membuntutiku. Seorang pelayan berwajah kosong yang tadi berdiri di balik pintu restoran itu sudah berada jauh beberapa langkah di belakang punggungku.

Kini di hadapanku tampak seorang waria berhidung palsu, berbulu mata palsu, dan berpayudara palsu, sedang berdiri di bawah sinar lampu jalanan. Bajunya ketat sekali, sampai-sampai pantatnya (palsu jugakah?) yang sebesar bola kaki itu tampak seperti ingin mencuat keluar. Aku memandangnya. Ia memandangku, sambil berkata, “Huss... huss....” Waria itu mundur tiga langkah ke belakang, menjauhiku. Langkahnya centil sekali. Aku masih terus menatapnya. Ia begidik jijik seraya membuang muka.

Setelah melewatinya beberapa langkah, aku bertanya kepada Zulmat, “Mengapa ia harus menjadi seperti itu? Apa ia termasuk orang-orang pemberani, seperti yang selalu kamu katakan kepadaku?”

Tidak ada jawaban.

“Apakah setiap pemberani memang harus berlaku seperti itu? Harus berani menghadapi berbagai macam kemungkinan? Harus berani menjadi palsu?”

Tetap tidak ada jawaban.

Aku angkat boneka brengsek itu. Aku tatap mata kancingnya yang cuma tersisa satu. Brengsek! Ia sudah tertidur!

Aku biarkan pertanyaanku tadi mengambang tanpa jawaban. Zulmat aku dekap di dada dengan kedua tangan, sambil berharap semoga ia tidak kedinginan. []

Selesai
Depok, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar