Kamis, 02 September 2010

Orang-Orang Terowongan

Kami bukan cacing. Kami bukan tikus. Namun, kami hidup di dalam tanah. Merayap-rayap dalam gelap, mengendap-ngendap dalam semesta yang lembab. Menyebalkan sekali. Apalagi kami sadar bahwa kalian hidup dengan amat bebas di dunia yang berada di atas kepala dan punggung kami. Kami mendengar percakapan kalian di meja makan. Sendok-garpu berdenting menyentuh piring, decak mulut yang dipenuhi makanan, dan sendawa. Kalian berbincang-bincang sambil menonton televisi, kalian berdiskusi di sebuah cafe yang teletak di persimpangan jalan, dan anak-anak kalian berangkat sekolah sambil bermain kejar-kejaran. Kami mengetahui semua yang kalian kerjakan. Kami mendengar segala hal yang kalian lakukan. Namun, sekali lagi, kami bukan seekor cacing atau pun seekor tikus. Kami adalah orang-orang terbuang yang terpaksa harus hidup di dalam terowongan.

Terowongan yang kami gali dengan tangan sendiri ini hanyalah terowongan biasa yang bentuknya sengaja kami buat seperti labirin. Sempit dan kami tidak bisa berdiri. Posisi kami seperti sekumpulan orang yang sedang berbaris dalam posisi merangkak. Setiap hujan turun, airnya merembes dan membasahi kepala dan punggung kami. Aroma tanah basah merasuk ke dalam lubang hidung kami. Air menggenang menenggelamkan telapak tangan dan kaki kami. Bisa dibayangkan betapa menyebalkan hidup seperti ini.

Di dalam terowongan inilah kami bernapas, bergerak, berbicara, dan hidup. Pada mulanya kami begitu tersiksa. Punggung kami pegal-pegal karena harus selalu merangkak dan merayap setiap hari. Kami tidak biasa menjalani hidup seperti ini. Setiap hari kami selalu kedinginan. Apa boleh buat. Segala cara kami lakukan agar tetap bisa bertahan hidup. Kami tidak ingin mati. Bukankah alasan kami untuk hidup di dalam terowongan ini adalah karena memang ingin menghindari kematian? Meskipun kami sadar betul bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja, tapi setidaknya kami tidak ingin mati konyol karena dihujani rudal-rudal kalian.

Begitulah. Kami pun mulai terbiasa menjalani hidup di dalam terowongan. Kami saling bertukar informasi, saling menasehati untuk tetap bersabar, dan saling berbagi makanan. Alhamdulillah, meskipun selalu kedinginan dan selalu merangkak seharian, kami tidak pernah kelaparan. Stok persediaan makanan kami masih cukup untuk waktu yang tidak bisa kami tentukan. Sebelum memutuskan untuk hidup di sini, kami memang telah menyimpan bahan makanan di salah satu lubang yang kami gali dengan tangan sendiri.

Kalian tentu tidak tahu dan pasti tidak mau tahu tentang penderitaan yang kami rasakan, dan kami tidak peduli. Adalah bodoh jika kami mengharapkan belas kasihan dari kalian. Bukankah kami jadi seperti ini juga karena ulah kalian? Lagi pula, menurut kami, terowongan ini masih jauh lebih baik daripada harus menjalani hidup berdampingan dengan kalian. Setiap hari selalu saja ada rumah-rumah kami yang hancur berantakan karena dihantam bom sialan milik kalian. Setiap menit selalu saja ada anak-anak kami yang pecah kepalanya lantaran dihajar peluru panas yang meluncur dari senjata api milik kalian yang setiap detik selalu saja terkokang. Entah sudah berapa banyak masjid kami ambruk sampai merata dengan aspal. Entah sudah berapa banyak air mata dan darah yang telah kami keluarkan. Kalian telah menghancurkan peradaban dan kebudayaan yang sudah sejak lama kami bangun.

Kami lelah setiap hari selalu menjalani kehidupan seperti itu. Apa artinya hidup jika selalu merasa terancam? Apa artinya hari esok jika hari ini kami bisa saja mati? Kami sering merasa betapa kematian sedang menunggu di depan pintu rumah kami, seperti tukang jagal yang selalu siap kapan saja menghunuskan pisaunya ke leher kami. Sekali lagi, kami lelah, sehingga keputusan untuk hidup di dalam terowongan demi menghindari kematian adalah keputusan yang paling masuk akal dan tak perlu lagi kami perdebatkan.

Terowongan ini gelap sekali. Semula kami tidak dapat melihat apa pun. Segalanya hitam. Pekat seperti tinta. Namun, entah kenapa, mungkin karena kami sudah mulai terbiasa hidup di dalam terowongan, kegelapan yang semula menyelimuti bola mata kami, secara perlahan sirna. Kami mulai bisa melihat dalam kegelapan. Bahkan kami bisa menyaksikan sebutir air mata yang jatuh dari pipi salah seorang rekan kami yang menangis. Setiap kali ada yang menangis, seperti biasa, kami akan menghibur hatinya.

“Bersabarlah. Allah tak akan membebani kaum-Nya kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Jangan menangis. Kita berada di sini bukan berarti Allah membenci kita. Bukan. Kita berada di terowongan ini bukan berarti kita lemah. Bukan. Sekali lagi, bukan. Kita berada di tempat yang indah seperti ini, karena ada yang sedang kita perjuangkan. Percayalah, selalu ada balasan untuk setiap perbuatan. Tak ada yang sia-sia. Allah mengetahui apa yang berada di dalam hatimu. Allah mengerti apa arti airmata yang mengalir di pipimu. Tersenyumlah....” Biasanya, setelah kami berkata seperti itu, salah seorang dari kami yang menangis itu akan langsung tersenyum.

Semula kami juga tidak mampu mendengar apa-apa. Di dalam terowongan ini telinga kami jadi pekak. Sunyi sekali. Kami berbicara dengan bahasa isyarat yang telah kami sepakati bersama. Tapi, entah kenapa, setelah sekian lama hidup di dalam terowongan, lambat laun telinga kami dapat mendengar segala macam jenis suara. Segalanya menjadi begitu jelas. Bahkan kami dapat mendengar suara sehelai daun yang jatuh di permukaan tanah yang berada tepat di atas kepala dan punggung kami.

Di lubang inilah kami hidup dan bertahan, entah sampai kapan. Namun, kami tahu bahwa tidak akan selamanya kami tinggal di dalam terowongan ini. Sebab, bagaimana pun juga kami sangat merindukan matahari, langit pagi, rerumputan, dan tanah tempat kami dilahirkan. Kami juga merindukan bagaimana rasanya menjalani hidup sambil berdiri tegak dengan kaki sendiri.

***

Kedatangan kalian di negeri kami adalah sebuah bencana terbesar yang sebelumnya tidak pernah kami rasakan. Kalian telah membuat ketenangan hidup kami hilang, digantikan oleh teror-teror kejam yang mengancam. Kalian adalah para pemukim yang paling tidak sopan, tamu tak diundang yang paling kurang ajar. Kami terasing di negeri sendiri. Keberadaan kami lambat-laun terbantahkan.

Kalian mengatakan kepada kami bahwa negeri yang sejak kecil kami tempati ini adalah tanah yang telah Tuhan janjikan untuk kalian. Kalian menganggap bahwa keberadaan kami telah menyalahi firman Tuhan yang tertulis di dalam lembaran kitab suci kalian. Di mata kalian kami adalah kaum pesakitan yang sudah semestinya dibinasakan. Kami tidak habis pikir, kitab suci macam apakah yang mengamini pembunuhan massal dan menyeru kepada perampasan?

Tentu saja kami tidak tinggal diam. Berdiam diri dalam situasi seperti itu, menurut kami, adalah sebuah pengkhianatan. Kami lantas berjuang bersama-sama untuk mengusir kalian. Kalian memiliki peluru, kami memiliki ketapel dan batu. Kalian memiliki semangat membunuh, kami memiliki keyakinan yang tangguh. Setiap hari kami melakukan perlawanan. Bahkan anak-anak kami pun turut melempari kalian dengan batu, seperti Daud yang juga melempari batu ketika bertarung melawan raksasa Goliath. Namun, ternyata perjuangan memang tidak semudah mengangkat telapak tangan yang kemudian kita gunakan untuk berdoa kepada Tuhan. Satu-persatu orang-orang dari kami tumbang. Kekejaman kalian terhadap kami semakin menjadi-jadi. Semakin banal dan mengerikan. Kalian membunuh anak-anak kami, menghancurkan rumah-rumah kami, meluluh-lantakkan negeri kami. Adalah kalian yang telah mengajari kami tentang arti kehilangan.

Setelah itu kami memutuskan untuk hidup di dalam terowongan. Ketika segala macam bentuk perlawanan yang kami lakukan selalu berakhir dalam kekalahan, kami memutuskan untuk menggali tanah. Kami tidak ingin meninggalkan negeri ini. Apa pun risikonya, kami harus menetap di sini. Ini bukan tentang nasionalisme. Ini adalah tentang kami, penduduk asli negeri ini, yang tidak ingin terusir dari negerinya sendiri. Itu sebabnya kami menggali tanah negeri kami, membangun sebuah terowongan, untuk kemudian kami tinggali. Meskipun harus hidup berkalang tanah seperti cacing, merangkak-rangkak seperti tikus, setidaknya kami tidak perlu merasa berkhianat karena harus pergi mengungsi.

***

Rupanya kematian memang tidak seperti asap yang dapat kita halau kedatangannya. Ia, kematian itu, singgah ke dalam terowongan, menemui kami. Beberapa orang dari kami mati. Semula hanya batuk-batuk, lantas demam tinggi, meriang, untuk kemudian mati. Entahlah, mungkin karena sudah terbiasa menyaksikan kematian, mendapati teman-teman kami rubuh karena nyawanya telah melejit entah ke mana (semoga saja ke surga. Amin), kami sama sekali tidak menangis. Tak ada upacara selain doa dalam hati. Semakin lama semakin banyak orang-orang kami yang mati. Semula hanya batuk-batuk, lantas demam tinggi, meriang, untuk kemudian mati. Begitu seterusnya. Kami biarkan jasad teman kami kaku begitu saja. Kami tidak tahu lagi bagaimana caranya mengurus orang mati, selain mendoakannya.

Lantas, kami pun hidup berdampingan dengan teman-teman kami yang telah mati. Kadang kami mengajak mereka, teman-teman kami yang telah menjadi mayat itu, berbicara. Kadang kami bertanya kepada mereka, apakah bidadari surga itu cantik semua? Seperti apakah surga itu? Benarkah ada sungai susunya? Seperti apakah rupa Tuhan? Tentu saja mereka tidak bisa menyahut. Tubuh mereka kaku seperti kayu. Kami tidak peduli. Kami hanya tidak tahu mesti berbuat apa lagi.

“Ternyata seperti ini rasanya menggali kuburan sendiri,” ujar salah seorang teman kami tiba-tiba.

Tentu saja kami terhenyak. Kesadaran kami seperti terbetot. Tidak! Tidak bisa! Kami membangun terowongan ini bukan karena ingin menggali kuburan kami sendiri! Kami hidup di sini sebab ingin menghindari kematian yang tidak kami harapkan.

Seperti tersadar dari lamunan panjang, kami pun mulai berisik.

“Kita sudah seperti tikus!”

“Perjuangan macam apa ini? Sampai kapan kita harus merangkak terus seperti ini?”

“Kita akui saja bahwa kita memang kaum pecundang!”

“Kita diciptakan memang untuk terbuang!”

“Seperti inikah nasib kaum pilihan, kaum yang di dalam hadist dikatakan sebagai kaum paling unggul dan akan menguasai peradaban?”

“Bukankah Allah tidak akan pernah mengubah nasib kita, jika kita tidak berusaha untuk mengubah nasib kita sendiri?”

“Ternyata kita memang tidak mampu mengubah nasib kita sendiri!”

“...”

“...”

Hening.

Hening.

Lama sekali.

Setelah itu kami mulai berbisik-bisik. Serius sekali. Kalian tentu tak akan bisa mendengarnya. Bukankah sejak dulu kalian memang tidak pernah mau mendengar suara-suara yang keluar dari mulut orang-orang terbuang?

***

Kami bukan cacing. Kami bukan tikus. Kami adalah orang-orang terbuang yang terpaksa harus hidup di dalam terowongan, yang saat ini sedang menyusun rencana perjuangan untuk mengusir kalian. Kali ini, kami yakin, rencana ini pasti akan berhasil.

Tunggu saja. []

SELESAI
Depok, 1-3 Februari 2009
(cerpen ini dimuat di dalam antologi cerpen yang berjudul Gadis Kota Jerash, terbitan Lingkar Pena Publishing House)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar