Kamis, 02 September 2010

Lelaki Tua yang Ingin Menyeberang Jalan

Lelaki tua itu belum juga bisa menyeberang. Padahal sudah tiga puluh menit ia berdiri di tepi jalan. Kepalanya selalu menoleh ke kanan, sambil berharap semoga ada seorang pengemudi yang murah hati, yang berkenan menghentikan laju mobilnya untuk kemudian mempersilakan dirinya menyeberang. Namun, tidak ada satu mobil pun yang berhenti. Semua mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Ia menghela nafas panjang, dengan kepala masih terus menoleh ke kanan.

Lelaki tua itu terbatuk. Kulit pipinya bergetar. Ia meraih sapu tangan dari dalam saku kemeja batiknya, mengelap sisa air liur yang menempel di kumisnya yang tebal, lantas kembali menoleh ke kanan.

Tangan kanannya yang sudah keriput mengenggam tongkat kayu yang ujungnya menyentuh aspal. Tongkat itu tidak bisa diam. Sama seperti sepasang kakinya yang selalu gemetar. Tubuh lelaki tua itu agak bungkuk dan tampak begitu ringkih. Usianya barangkali sama seperti usia patung tugu yang sudah berlumut dan keropos termakan waktu, yang berdiri hampir rubuh di pusat kota.

Sedan melesat dengan kecepatan yang cukup mengerikan dan sepeda motor melaju begitu laju sambil terus menyalip tanpa ragu, sehingga jalan raya yang berada di depan lelaki tua yang ingin menyeberang jalan itu tak pernah menyisakan sedikit pun ruang lengang untuk sekadar menyeberang.

“Aku sama sekali tidak mengerti, mengapa aku bisa mencintai laki-laki macam kamu? Setiap ingin menyeberang, kamu selalu takut, dan akhirnya aku yang akan selalu menuntunmu. Sungguh tidak romantis.”

“Aku bukan takut menyeberang, Sayang. Aku hanya takut tertabrak.”

“Tapi kamu laki-laki. Tidak seharusnya laki-laki bersikap seperti itu.”

“Aku hanya tidak ingin mati konyol.”

“Terus mau sampai kapan kita berdiri di pinggir jalan seperti ini?”

“Sampai tidak ada lagi kendaraan yang berlalu-lalang, setelah itu baru kita menyeberang.”

“Ah, itu terlalu lama, Sayang! Sekarang pegang tanganku. Kita akan menyeberang sekarang!”

Lelaki tua itu menyerahkan tangan kirinya, dan ia merasakan butiran-butiran debu menempel di sana. Kepalanya menoleh ke kiri secara perlahan. Tidak ada siapa-siapa. Lengang. Selengang hatinya yang selalu teringat mendiang istrinya setiap kali ia ingin menyeberang jalan. []

SELESAI
Depok, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar